Tuesday, December 31, 2013

Selamat Tahun Baru


Kawan, sudah tahun baru lagi
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk?
Memandang diri sendiri?
Bercermin firman Tuhan sebelum kita dihisab-Nya?
Kawan, siapakah kita ini sebenarnya?
Musliminkah?
Mukminin?
Muttaqin?
Khalifah Allah?
Umat Muhammad-kah kita?
Khaira ummatin kah kita?
Atau kita sama saja dengan makhluk lain?
Atau bahkan lebih rendah lagi?
Hanya budak-budak perut dan kelamin.

Iman kita kepada Allah dan yang ghaib
rasanya lebih tipis dari uang kertas ribuan
Lebih pipih dari kain rok perempuan.
Betapapun tersiksa, kita khusyuk di depan massa
dan tiba-tiba buas dan binal justru di saat sendiri bersama-Nya.
Syahadat kita rasanya seperti perut bedug,
atau pernyataan setia pegawai rendahan, kosong tak berdaya.
Shalat kita rasanya lebih buruk dari senam ibu-ibu
Lebih cepat daripada menghirup kopi panas
Dan lebih ramai daripada lamunan seribu anak muda.
Doa kita sesudahnya justru lebih serius kita
Memohon hidup enak di dunia dan bahagia di surga.
Puasa kita rasanya sekedar mengubah jadwal makan minum dan saat istirahat
Tanpa menggeser acara buat syahwat.
Ketika datang lapar atau haus; kitapun menggut-manggut,
“Oh beginikah rasanya.”
Dan kita sudah merasa memikirkan saudara-saudara kita yang melarat.
Zakat kita jauh lebih berat terasa dibanding tukang becak
melepas penghasilannya untuk kupon undian yang sia-sia..
Kalaupun terkeluarkan harapan pun tanpa ukuran,
upaya-upaya Tuhan menggantinya berlipat ganda.
Haji kita tak ubahnya tamasya menghibur diri,
mencari pengalaman spiritual dan material.
Membuang uang kecil dan dosa besar,
lalu pulang membawa label suci asli made in Saudi. Haji.

Kawan, lalu bagaimana, bilamana dan berapa lama kita bersama-Nya?
Atau kita justru sibuk menjalankan tugas mengatur bumi seisinya
Mensiasati dunia sebagai khalifah-Nya.

Kawan, tak terasa kita semakin pintar
Mungkin kedudukan kita sebagai khalifah mempercepat proses kematangan kita,
paling tidak kita semakin pintar berdalih.
Kita perkosa alam dan lingkungan demi ilmu pengetahuan
Kita berkelahi demi menegakkan kebenaran
Melacur dan menipu demi keselamatan
Memamerkan kekayaan demi mensyukuri kenikmatan
Memukul dan mencaci demi pendidikan
Berbuat semuanya demi kemerdekaan
Tidak berbuat apa-apa demi ketentraman
Membiarkan kemungkaran demi kedamaian
Pendek kata, demi semua yang baik,
halallah semua sampai pun yang paling tidak baik

Lalu bagaimana para cendikiawan dan seniman?
Para mubaligh dan kiai penyambung lidah nabi?
Jangan ganggu mereka.
Para cendekiawan sedang memikirkan segalanya
Para seniman sedang merenungkan apa saja
Para mubaligh sedang sibuk berteriak ke mana-mana
Para kiai sedang sibuk berfatwa dan berdoa
Para pemimpin sedang mengatur semuanya
Biarkan mereka di atas sana
Menikmati dan meratapi nasib dan persoalan mereka sendiri.

Kawan, selamat tahun baru
Belum juga tibakah saatnya kita menunduk dan memandang diri sendiri?

-K.H. Bisri Musthofa-


31 Desember 2013
Arumdalu 04


Monday, December 30, 2013

Ta...


Ta, aku kah itu yang tepat satu shaf di belakangmu?

Suka-Suka, Menilik Ulang Gubuk Maya As(y)-Syahwat

Bukan saya banget, boleh dibilang begitu. Biasanya saya hanya menyunting tulisan reporter-reporter saya di Bul, memperbaiki EYD, dan menyusun ulang logika bahasa. Pun, untuk tugas kuliah saya tidak pernah me-review secara utuh karya pujangga-pujangga ternama dari daratan Timur Tengah sana, tidak pernah sama sekali. Paling jauh hanya membedahnya dengan tinjauan kritik feminis, sosiologi, dan psikologi. Itu pun dengan sudut pandang  yang masih sempit. Kali ini, saya sudah tidak melakoninya lagi. Alasannya sederhana, waktu mempersilakan saya untuk purna tugas, tidak lagi menjadi editor dan menguliti karya orang. Saya kabur dari zona nyaman dan memulainya dari sini, me-review blog Gubuk Maya As(y)-Syahwat milik Dhona Adyatma dan teman se-gank-nya.

Seperti saya selo sekali ya, buang menit dan jam untuk me-review blog antah berantah milik keroyokan? Iya, saya memang selo dan jomblo. Baiklah segera saya mulai. Hal pertama yang menjadi perhatian saya adalah judul blog ini. Bukan karena namanya as(y)-syahwat. Saya tak mengapa dengan nama dianggap berkonotasi negatif bagi sebagian orang . Sebagai mahasiswa Sastra Arab dengan nilai A pada mata kuliah Fonologi, kaidah transliterasi Arab-Indonesia sudah terpatri rapi di otak saya. Menurut kaidah, nama as-syahwat menyalahi aturan transliterasi Arab-Indonesia. As(y)-syahwat jika diarabkan maka dimulai dengan al- yang diikuti syin dan dibaca asy-, bukan al- diikuti sin lalu kemudian syin dan dibaca as-sy. Demikian tinjauan saya dari sudut pandang fonologi.

Terlepas dari ke-saklek-kan fonologi, saya mengapresiasi blog ini. Saya melihat ada diskusi nan hidup dari morfem, klausa, dan wacana yang ditumpahkan penulis-yang-entah-siapa. Dari blog ini saya melihat realita sehari-hari, tentang diri sendiri yang kadang remeh dan temeh, teman, sosial, politik, agama, dan tentu saja persoalan-klasik-dari-masa-ke-masa, sebut saja cinta. Penulis memaparkan hal dengan tidak menggurui, begitu kesan saya. Bagian paling favorit saya adalah seri Lek Gon. Cerita Lek Gon disajikan dengan bernas, memperlihatkan sudut pandang yang tidak biasa. Meskipun EYD tidak berlaku utuh dalam blog ini, tapi esensi yang ingin disampaikan tidak lantas hilang. Persoalan agama yang diangkat juga cerdas. Penulis(-penulis)nya mampu mengolah kata membalas nyinyir-an kelompok-kelompok islam di luar sana yang katanya benar segala-galanya. Mungkin saya sedikit objektif karena sepertinya saya seideologi dengan penulis. Entahlah...

Apapun itu, membaca karya orang memang membahagiakan, apalagi menuliskannya.
You are what you read and you are what you write
Salam membaca dan menulis :)
-Arumdalu 04-